Memikirkan dengan cara diam-diam yang membuatku berpikir seakan kamu juga merindukanku. Beginikah sakitnya malam yang merindukan siang? Aku memang tak paham betul seberapa sakitnya malam saat rindu kepada siang, yang aku tau rindu seorang diri itu sedih.
Hanya malam yang seakan mengerti rinduku ini. Aku tau perjuangan sang ombak yang paling hebat saat berjuang melewati berbagai batas dan samudera untuk saling bertemu disatu tempat, walau hanya beberapa detik. Setidaknya mereka bertemu, sang ombak tidak berjuang sendiri seperti malam yang tak pernah bertemu dengan siang. Kiamat memang, jika malam dan siang bertemu menjadi satu disatu tempat, jelas sudah begitupun dengan aku dan kamu yang tak berbeda dengan malam dan siang.
Pahit dan pedih memang kenyataan ini. Kenyataan yang terus berbisik bahwa rinduku akan tetap ada dan tak kunjung surut termakan waktu. Ngeyel memang hati ini, yang seakan tak bisa memahami dan melihat dengan jelas bahwa semestapun tak merestui rinduku.
Saat sudah seperti ini, lalu rinduku harus diapakan? aku memang tetap akan berbisik kepada bumi dalam sujudku, menceritakan semua rindu yang kualami, menceritakan sedih dan sakitnya hati ini menahan rindu seperti yang malam lakukan.
Berkali-kali kukatakan pada rinduku ini, yang harus kulakukan hanyalah melepas rindu melepas bukan dengan bertemu namun melepas dengan paham serta keihklasan untuk menerima bahwa rindu ini hanya milikku, bukan miliknya. Terkadang memang lebih baik mengatur bebek yang hendak bermain di sungai dibanding mengatur hati tentang rindu, hati selalu ngeyel dan mengabaikan otak yang sebenarnya berkata jujur.
Dengan haru dan sendu kutatap rindu yang kian tak berujung. Kiranya rindu memang hanya untukku, kurela rinduku ini menjadi biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar