Shouldn't be copied without permission!! please don't be a plagiat!!

Senin, 06 November 2017

Hal yang Seharusnya Diajarkan Di Sekolah-Sekolah Indonesia

Pendidikan yang kurang baik kerap dianggap jadi sumber berbagai permasalahan di negeri ini. Lihat saja pendapat pakar setiap ada permasalahan yang menyerang Indonesia. Jika dirunut, ujung-ujungnya balik ke pendidikan lagi. Tapi kalau memang ada yang salah dengan pendidikan kita, sebenarnya apa yang sih harus diubah?
Kali ini saya akan memaparkan beberapa hal sederhana yang luput diajarkan dalam sistem pendidikan kita. Ini bukan soal pelajaran sains rumit yang bisa memenangkan Indonesia di Olimpiade internasional. Tapi tentang bagaimana pendidikan sepatutnya membentuk anak-anak Indonesia jadi sebaik-baiknya manusia.

1. Etika Berkendara Dengan Sopan

Lihat deh kondisi lalu lintas kita beberapa tahun terakhir. Tidak hanya semakin macet, tapi juga makin carut-marut. Di jalan raya semua orang ingin jadi pemenang. Motor menyalip dari sebelah kiri. Mobil membunyikan klaksonnya di malam hari. Seseorang akan tanpa dosa mengambil jalur kiri jalan, kemudian langsung belok ke kanan. Menyebabkan pengendara lain terkaget-kaget menyesuaikan diri.
Cara berkendara adalah cermin dari perilaku kita sebagai manusia. Jangan kaget kalau di Indonesia banyak orang yang tega mengambil harta rakyat yang bukan haknya. Itu sudah tercermin dari perilakunya di jalan raya. Seandainya aja etika berkendara diajarkan dari kecil. Menyadarkan bahwa ada hak orang lain yang terkebiri kalau kita bertindak ngawur di jalanan.

2. Mata Pelajaran “Bertanya”

Orang Indonesia itu cerdas. Kalau kamu punya kesempatan menempuh pendidikan di luar negeri, kamu akan mengakui hal ini. Pemahaman kognitif kita gak kalah kok sama orang asing. Sayangnya, kita masih malu-malu bertanya dan mengungkapkan pendapat. Padahal bertanya itu penting lho. Bukan cuma sekedar mencari jawaban atas hal yang belum kamu tahu. Proses bertanya juga membuka pola pikirmu.
Demi meningkatkan keinginan untuk bertanya, sekolah perlu punya kelas khusus bertanya. Dalam kelas tersebut anak-anak bebas menanyakan apapun. Mulai dari hal yang terkait pelajaran sampai hal konyol yang nggak ada kaitannya sama sekolah.
Guru juga wajib memberikan jawaban yang “adil”. Kalau nggak tahu ya bilang aja nggak tahu. Dengan kelas khusus bertanya anak-anak akan lebih berani mengungkapkan pendapat mereka.

3. Mata Pelajaran “Berpikir Kreatif”

Salah satu kekurangan sistem pendidikan kita adalah sempitnya ruang bagi kreativitas. Kita terlalu terbiasa dibentuk menjadi “seragam”. Jadi berbeda dari teman-teman dan lingkungan terasa menakutkan. Padahal, menjadi berbeda itu wajar banget. Nggak ada yang salah dari mengambil sikap yang berseberangan dengan teman-temanmu, selama kamu punya argumen.
Sekolah di Indonesia perlu punya mata pelajaran “Berpikir Kreatif” di semua tingkat pendidikan. Di kelas ini anak-anak bebas mengembangkan ide mereka sendiri untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Disini kamu bisa menciptakan rumus bagi soal matematika, kamu bisa menulis naskah drama, bisa membuat film untuk membantumu memahami soal Kimia.

4. Sejarah Dunia

Dari SD sampai SMA pelajaran tentang seharah dunia yang kita terima hanya sebatas Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2. Padahal banyak peristiwa sejarah yang terjadi diluar Indonesia yang perlu kita ketahui. Bagaimana sejarah penjajahan negara Asia lain dan bagaimana mereka menghadapinya.
Bagaimana tragedi kemanusiaan di Rwanda, Bosnia, serta Chechnya terjadi. Bagaimana peliknya konflik agama di belahan dunia lain. Sampai juga fenomena negara gagal.
Memiliki pemahaman yang menyeluruh soal sejarah dunia akan membuat generasi Indonesia sadar bahwa hal yang terjadi di Indonesia juga terjadi di luar negeri. Dan kalau orang-orang asing itu bisa menghadapinya, kenapa kita tidak?

5. Mempertanyakan Sejarah

Pernahkah kamu bertanya kenapa Belanda bisa begitu lama menjajah Indonesia? Atau sesederhana, “Siapa yang bersalah dalam peristiwa 1965?“. Mempertanyakan fakta sejarah memang belum jadi kebiasaan yang lazim dilakukan oleh orang Indonesia. Kita terbiasa menerima sebuah fakta sejarah mentah-mentah dari sebuah sumber, tanpa pernah mencari fakta tandingannya.
Padahal mempertanyakan fakta sejarah bisa membuat kita jadi orang yang kritis dan berpengetahuan luas. Kita jadi terbiasa mengumpulkan data tambahan sebelum memutuskan untuk sepakat atau tidak sepakat terhadap suatu hal. Apabila sedari kecil anak-anak Indonesia sudah diberi ruang untuk berani kritis terhadap fakta sejarah, kecintaan mereka pada Indonesia bisa semakin dalam.

6. Ideologi Dunia

Walau kita yakin sepenuhnya pada ideologi Pancasila, bukan berarti ideologi lain layak disalahkan dan jadi musuh bersama. Anak-anak Indonesia perlu tahu apa itu komunisme, fasisme, sosialisme, liberalisme, kapitalisme, atau humanisme sekuler — secara lengkap dan adil. Mulai dari pemikiran yang ada dibaliknya hingga pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari keberhasilan dan kegagalan yang terjadi di negara atau masyarakat penganut ideologi tersebut.
Kita nggak berhak mengatakan sesuatu buruk, salah dan layak dihakimi sebelum tahu dengan mendalam bukan?

7. Menggunakan Social Media Dengan Bijak

Fenomena ABG Labil, Anak Alay, Kimcil dan Terong-Terongan menunjukkan betapa lemahnya anak muda kita dalam hal pemanfaatan media sosial. Postingan galau soal perihnya putus cinta memenuhi lini masaTidak jarang foto yang bersifat pribadi juga dengan murah diunggah ke berbagai situs pertemanan.
Penting bagi sekolah untuk mengajarkan bahwa anak muda harus cerdik dalam memanfaatkan media sosial. Sekali sesuatu terposting via internet, dia akan menyebar dan jadi milik publik. Padahal rekam jejakmu di media sosial juga akan jadi bahan pertimbangan saat kelak melamar pekerjaan. Pendidikan kita sayangnya belum memberikan pemahaman menyeluruh soal menggunakan media sosial dengan tepat.

8. Sopan Santun Sederhana

Saat naik eskalator di mall, pernahkah kamu berpikir untuk berdiri di sisi kanan/kiri saja sehingga orang yang terburu-buru bisa lewat? Apakah kamu sudah biasa bertanya, “Mau lantai berapa, Bapak/Ibu?” kalau kamu berada di dekat tombol lift? Atau pernahkah kamu diajari bagaimana caranya menyajikan minuman untuk tamu atau bagaimana cara menghadapi telepon salah sambung? Kalau jawabanmu tidak, berarti kamu sama dengan saya. Saya belajar sopan santun bukan dari sekolah.
Sekolah di Indonesia barangkali terlalu sibuk menyiapkan muridnya untuk lulus UN. Dibanding mempersiapkan mereka jadi anak-anak santun. Maka gak jarang kita akan menemui anak pintar yang kemampuan sosialnya nol besar. Bagaimanapun, kita ini tetap bangsa timur yang menjunjung tinggi sopan santun. Pendidikan soal sopan santun wajib masuk dalam kurikulum kita.

9. Hidup Bersama Orang Dengan Keterbatasan Fisik Dan Autisme

Pendidikan inklusi sudah jadi hal yang wajar bagi banyak negara di dunia. Sayang, di Indonesia hal ini masih jarang ditemui. Coba deh hitung, sekian lama bersekolah seberapa sering kamu punya teman yang menggunakan kursi roda? Pernahkah kamu duduk sebangku dengan dia yang visi penglihatannya lemah? Pernahkah kamu membantu teman penderita autisme untuk duduk tenang dan menyimak pelajaran?
Bukannya menerima dan menghargai mereka, kita justru lebih terbiasa mengolok dan mencibir. Ini bukan sepenuhnya kesalahan kita. Sedari kecil kita memang tidak terbiasa diajarkan untuk hidup bersisian dengan kawan-kawan yang berkebutuhan khusus. Kalau pendidikan kita tidak diubah jadi lebih inklusif, kapan lingkaran setan diskriminasi di Indonesia akan selesai?

10. Keterampilan Mengelola Uang dan Berinvestasi

Kita belajar skema debet-kredit, utang-piutang dan berbagai tipe pembukuan yang rumit. Pemahaman dasar ilmu akuntansi bahkan telah dikuasai di sma. Tapi apakah dengan itu kemampuan anak-anak Indonesia mengelola uang menjadi semakin baik? Sayangnya, tidak juga tuh. Walau sudah punya dasar teknis mengatur uang, aplikasinya sehari-hari masih jauh dari harapan.
Selain diajari cara membuat pembukuan yang balance, akan oke banget jika sekolah juga mengajarkan bagaimana mengelola uang yang baik dan bagaimana anak muda bisa mulai berinvestasi. Seharusnya sedari kecil kita diajari untuk melihat uang sebagai modal untuk menghasilkan penghasilan yang berlipat ganda. Bukan hanya sebagai komoditas yang bisa dibelanjakan.

11. Pelajaran “Mendengarkan”

Ada sebuah debat antar pengacara di TV swasta nasional kita, sebut aja nama acaranya “Indonesia Lauyier Clubzz”. Di acara tersebut pengacara nasional Indonesia malah tampak seperti anak SD yang sedang berdebat kusir. Saling lempar argumen, gak mau kalah, memotong pembicaraan lawan bicara sebelum yang bersangkutan selesai menyampaikan pendapat.
Kita memang bukan bangsa yang punya kemampuan mendengar dengan baik. Debat kita anggap sebagai pertarungan. Bukan sebagai tempat tukar pendapat. Seandainya saja ada mata pelajaran “Mendengarkan” di sekolah kita.
Anak-anak akan didudukkan berpasangan, saling mengungkapkan argumen terhadap suatu isu. Tapi lawan bicara gak boleh menyelamu sampai pendapatmu selesai diungkapkan. Mereka wajib mendengarkan dan mencatat poin yang kamu sampaikan. Kalau cara menjadi pendengar yang baik ini diajarkan dari tingkat pendidikan terendah, cara bertukar pendapat di negeri kita akan lebih sehat.

12. Menghargai Karya Seni

Temanmu yang suka berpuisi di linimasa Twitter kamu ejek sebagai orang galau. Dia yang suka corat-coret di sketch-book dianggap aneh dan gak keren. Padahal dibanding kamu yang suka nge-bully, mereka lebih keren karena bisa menghasilkan karya seni loh!
Anak-anak Indonesia perlu diajarkan untuk membedakan:
  • Galau vs Puitis
  • Artistik vs Ngawur
  • Cupu vs Nyeni
satu-satunya cara agar mereka bisa menarik garis perbedaan yang jelas adalah dengan mengenalkan berbagai karya seni sedini mungkin. Gak cuma membaca puisi, tapi anak-anak Indonesia juga perlu dikenalkan bahwa puisi adalah media pembebasan bagi manusia.

Gak cuma dikenalin nama-nama pelukis, mereka juga perlu tahu kisah dibalik lukisan tersebut. Bagaimana ide abstrak atau impresionistis bisa dieksekusi jadi gambar di kanvas. Bagaimana orang-orang di luar sana rela membayar mahal demi membeli hasil karya tersebut.
Tentu aja manusia bisa bertahan tanpa seni. Kasarnya: untuk tetap hidup kita cuma butuh makan, mandi, ngantor, tidur. Tahu-tahu sakit dan meninggal. Pertanyaan sebenarnya: maukah kita hidup dengan cara se-mekanistis itu?

13. Memanfaatkan Internet

Sekarang anak TK aja udah tahu apa itu internet. Tapi kita masih jadi bangsa yang bisanya mengkonsumsi saja, tanpa bisa memanfaatkan internet sebagai peluang. Padahal kemajuan teknologi informasi memungkinkan kita mengembangkan ide-ide bisnis dengan murah dan mudah.
Pelajaran sederhana tentang bahasa pemrograman dasar, bagaimana memanfaatkan akun media sosial untuk jadi sumber penghasilan tambahan hingga cara membentuk start-up company berbasis internet layak masuk kurikulum pendidikan kita.

14. Jadi Relawan. Berkontribusi Langsung Untuk Masyarakat

Kita adalah bangsa yang punya gagasan dan idealisme besar. Tapi sayang, kadang tangan kita tidak cukup ringan untuk bekerja keras mewujudkan apa yang ada di otak. Bukannya diajarkan untuk menjadi relawan dan berkontribusi langsung ke masyarakat, sedari kecil kita hanya diajarkan untuk berargumen dan menciptakan retorika.
Kalau ingin Indonesia berubah kita perlu mulai sadar diri untuk memberikan sesuatu pada negara yang kita cintai. Sejak masih duduk di bangku sekolah anak-anak perlu diajarkan bahwa dalam dirinya selalu ada yang bisa diberikan untuk orang lain. Jadi relawan dan turun langsung ke masyarakat nggak harus dilakukan oleh mereka yang sudah ahli.
Semoga saja hal-hal diatas segera diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Perubahan menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik sudah bukan jadi mimpi lagi, deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar